Tuesday, July 14, 2009

Eksistensi GOLF

Beberapa puluh tahun yang lalu, tenis pada saat itu masih dianggap sebagai olahraga para bangsawan dan para elit terpilih, dan bukan olahraga yang dekat dengan rakyat umum. Saat ini, cabang olahraga tenis sudah diperlombakan di Olympiade, jadi tidak lagi perlu diperdebatkan bahwa tenis sudah merupakan olahraga yang mendunia. Beberapa bintang dari Asia tidak pelak lagi merupakan bola salju penggerak entusiasme tenis di Asia, semacam Vijay Armitraj, kemudian pemain double tangguh dari India, Panadorn dari Thailand, dsb. Gejala yang sama diperlihatkan di dunia Golf..

Lihat saja Vijay Singh, meskipun ia datang dari Fiji, tetapi ia juga merupakan sumber inspirasi dari pegolf-pegolf muda di Asia. Gelombang pegolf wanita dari Korea di tour LPGA, semacam Se Ri Pak, Grace Park, Mi yun Khim dan masih banyak lagi, menyebabkan Jane Stephenson, pegolf senior dari USA menggerutu bahwa para pegolf Asia “merusak LPGA Tour”. Lepas dari pendapat ini yang jelas tidak adil, tetapi merupakan kenyataan tidak terbantahkan, bahwa pemain-pemain dari Korea belakangan ini rata-rata menempati 5 sampai 8 tempat teratas di tour LPGA di USA. Di PGA Tour, pegolf pria sudah lebih dulu berkiprah, misalnya Isao Aoki, Jumbo Ozaki, T.C.Chen, Maruyama Shigeki, K.C. Choi, dll. Mereka-mereka inilah yang mendorong interes pegolf muda di negara masing-masing.

Tidak perlu ditanya, betapa situasi ini mendorong para pegolf junior berlatih lebih keras lagi secara spartan untuk mengikuti jejak para pendahulunya. Hal ini juga dengan sendirinya mempengaruhi industri Golf di dalam negeri, belum lagi pariwisata ikut terdongkrak keadaan ini. Olahraga sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dengan industri, semakin olahraga tersebut berkembang dengan pesat, maka dukungan industri dan pariwisata niscaya mengikuti “denyut” kegiatan olahraga tersebut.

Kalau kita menengok negara-negara tetangga selain Jepang, Korea, Thailand dan Taiwan, maka terlihat dengan jelas, betapa hebat dan cepatnya olahraga Golf berkembang. Belakangan ini, negara China meskipun berfaham Komunis, tetap saja ikut terjun memanfaatkan demam Golf ini, karena mereka pandai melihat peluang dengan membangun sekaligus lapangan dengan 180 holes alias 10 x 18 holes (Mission Hills) dengan merekrut nama para pegolf terkenal dengan menamakan lapangannya sesuai nama pegolf ternama tersebut seperti misalnya David Duvall, Anika Sorenstam - ranking LPGA nomor satu, dll.

Selanjutnya pertanyaan berikut adalah: apakah sesungguhnya permainan Golf itu. Golf oleh banyak pakar, dianggap berasal dari Belanda. Para penjaga domba, sambil menjaga, meluangkan waktunya dengan memukul batu kecil memakai tongkat, dan memasukkannya ke dalam suatu lubang. Permainan ini berkembang dan menemukan bentuknya yang tidak banyak berubah dengan yang sekarang adalah di Scotland. Bermain Golf mendidik si pemain menjadi berdisiplin, sportif, jujur, cepat mengambil keputusan yang benar, dan yang tidak kurang penting, peduli pada sesamanya. Semua ini adalah sifat-sifat yang amat berguna ditanamkan kepada para pemain dari sejak muda dengan harapan bahwa sifat-sifat ini selalu menjadi bagian dari hidupnya di luar permainan Golf.

Untuk mengakomodasi permainan Golf, diperlukan padang Golf. Untuk padang Golf dengan 18 holes rata-rata akan membutuhkan tanah seluas 65 HA sampai 435 HA (data dari the Everything Golf Book - Rich Mintzer and Peter Grossman). Lapangan hendaknya didesain meminjam falsafah Rees Jones: “Menciptakan suatu lingkungan untuk permainan Golf yang menantang, adil dan secara estetika menyenangkan.” Satu hal yang pasti dari suatu lapangan golf adalah bahwa lahan luas yang diambil, paling tidak memastikan bahwa paru-paru kota tetap dipertahankan keberadaannya! Kolam-kolam sebagai tempat koleksi air permukaan – air hujan - dapat sekaligus dirancang menjadi rintangan (hazards) dari lapangan Golf. Ini untuk mengurangi bahaya banjir di sekeliling lapangan, selain dengan sendirinya lahan terbuka yang cukup tersedia untuk membangun sumur-sumur resapan.

Kemudian menurut pendapat penulis, untuk memajukan olahraga Golf di tanah air, memerlukan suatu usaha bersama. Hendaknya tidak dilupakan, sejarah mengajar kita bahwa dengan mencetak “bintang” pegolf, jalan menuju pemasalan permainan terbuka lebar; anak, para junior akan berlomba-lomba belajar bermain Golf. Sayangnya kita tidak/belum sedemikian beruntung seperti Thailand yang punya pemain semacam Tiger Woods, meskipun warga negara USA, tetapi orang Thai suka merujuk dia sebagai separuh Thai karena ibunya orang Thai. Fakta ini dipergunakan dengan maksimal oleh pemerintah Thailand dengan menganugrahkan Tiger Woods sebagai warga negara kehormatan, dsb. sehingga Tiger sering kali bermain di turnamen di Thailand untuk menarik sponsor dan minat para pegolf junior.

Intinya adalah, kita perlu mencari jalan untuk mencetak bintang-bintang kita sendiri, dan jalan yang selama ini dilakukan amatlah mubazir. Beberapa pemain junior saat itu yang mempunyai keterampilan dan bakat besar telah dikirim ke negara tetangga, semacam Australia dan USA, dengan harapan mereka pulang dan akan berkiprah di tingkat Internasional. Semua usaha tersebut tidak memenuhi harapan para pembina. Penulis, seperti dikatakan di atas, percaya bahwa ini perlu suatu kerja sama dari berbagai pihak. Pertama tama, olahraga Golf perlu dimasalkan dan dimasyarakatkan, dan satu-satunya cara yang ampuh adalah membawa olahraga Golf ke sekolah. Langkah ini sudah dimulai oleh Pengda PGI Jawa Barat bekerja sama dengan DEPDIKBUD Jawa Barat yang membuat keputusan bahwa olah raga Golf adalah kegiatan ekstra kurikuler di SMP. Rencananya adalah mengirimkan pelatih ke sekolah-sekolah yang berminat, menyediakan klab golf, semua secara cuma-cuma disponsori oleh PGI Jawa Barat, PGPI (Persatuan Golf Profesional Indonesia), dan para produsen klab golf di dalam dan di luar negeri. Umumnya para junior kehilangan minat bermain golf, karena mereka kira permainan golf adalah permainan individual. Pada usia semacam mereka, bertanding bersama secara berkelompok, jauh lebih menarik daripada bermain sendiri tanpa ditonton rekan-rekannya. Kita-kita ini sebagai pembina, hendaknya membantu mereka (sekolah-sekolah) meyelenggarakan pertandingan-pertandingan beregu yang berkeseninambungan antar sekolah atau wilayah atau propinsi. Biarkan mereka membawa bendera, banners sekolah masing-masing, kedepankanlah pertandingan beregu, sehingga suasana kelompok dan kebersamaan lebih terasa, niscaya para junior akan lebih tertarik. Diharapkan para pemain yang berasal dari lingkungan yang lebih kondusif – baik keuangan maupun pendidikan – akan menghasilkan pemain-pemain yang lebih percaya diri.

Pada akhirnya, semua juga menyadari, keterampilan yang aduhai tanpa dibarengi dengan rasa percaya diri yang tinggi, tidak mungkin melahirkan juara sejati yang dapat berbicara secara Internasional. Pada akhirnya percayalah, permainan Golf adalah 95% urusan mental! Pola ini diharapkan berlanjut di sekolah menengah atas dan di kampus, sebagaimana juga di USA, para pemain yang potensial ditawarkan untuk bersekolah di universitas agar memperkuat tim sekolah dan bendera universitas. Untuk universitas tentu mempunyai keuntungan apabila mereka dapat merekrut calon pemain bintang. Tidak dapat dipungkiri, universitas di luar negeri yang kaya dan tua saja yang hanya dapat memiliki lapangan Golfnya sendiri. Mengapa tua, ya sederhana, pada saat itu, harga tanah masih murah, mereka yang sudah memiliki lahan yang luas, dapat membangun lapangan Golfnya sendiri. Jelas ini akan mengangkat prestise dan sekaligus daya tarik kuat bagi para staf pengajar untuk ikut bergabung di universitas yang memiliki lapangan Golf sendiri. Selain itu, lapangan Golf di kampus juga dapat menjadi sumber pendapatan bagi kocek universitas, sambil tetap mempertahankan lingkungan yang hijau dan asri. Kalau kita menengok di USA, maka pemain-pemain bintang semacam Jack Nicklaus, Tom Watson, dll. adalah alumni universitas (Texas), di mana mereka tumbuh menjadi pemain andal karena dididik juga oleh coach universitas, dan mereka berkesempatan bermain dengan teratur dan berkompetisi secara berkesinambungan.

Jadi kesimpulannya adalah, mari kita menyediakan jalannya, memasalkan Golf melalui sekolah, pastikan adanya pertandingan secara berkesinambungan baik di tingkat sekolah, amatir dan profesional (karena hanya melalui keterlibatan pemain dengan pertandingan yang teratur, ia baru ada kesempatan menjadi pemain yang matang), dan tentunya sediakan lapangan Golf yang mencukupi.

Demikian sekilas pandangan penulis tentang perlukah dibangun Padang Golf (Golf course). Jelas jika kita sepakat bahwa pada waktunya, Golf juga akan menempatkan posisi yang sama seperti misalnya tenis, dan kita inginkan membangkitkan juga industri dan pariwisata, maka jawabannya tentu: Jikalau tanah dan sumber dana tersedia, mengapa tidak?

Sumber: Ray Hindarto

0 comments: